CANDI JAGO
DISUSUN OLEH :
NAMA : Dewi Himatul
Munif
KELAS : IX B
No : 09
Smp Negeri 1 Salaman
Tahun Pelajaran 2015/2016
Candi Jago
Candi Jago berasal dari
kata “Jajaghu”, didirikan pada masa Kerajaan Singhasari pada abad ke-13.
Berlokasi di Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, atau sekitar 22 km dari Kota
Malang. Candi ini cukup unik, karena bagian atasnya hanya tersisa sebagian dan
menurut cerita masyarakat setempat karena tersambar petir. Relief-relief
Kunjarakarna dan Pancatantra dapat ditemui di candi ini, keseluruhan bangunan
candi ini tersusun atas bahan batu andesit. Karena pengaruh waktu, candi Jago telah mengalami banyak
perubahan dan tidak utuh lagi. Meskipun demikian, pesona dan kewibaan era masa
lampau masih bisa terlihat dengan jelas saat mengunjungi candi ini. Candi ini
cukup unik, karena bagian atasnya hanya tersisa sebagian dan menurut cerita
setempat karena tersambar petir.
Saat ini Candi Jago masih berupa reruntuhan yang belum dipugar. Keseluruhan
bangunan candi berbentuk segi empat dengan luas 23 x 14 m. Atap candi sudah
hilang, sehingga tinggi bangunan aslinya tidak dapat diketahui dengan pasti.
Diperkirakan bahwa tingginya mencapai 15 m. Di tengah
pelataran depan, sekitar 6 m dari kaki candi, terdapat batu besar yang dipahat
menyerupai bentuk tatakan arca raksasa, dengan diameter batu sekitar 1 m. Di
puncaknya terdapat pahatan bunga padma yang menjulur dari bonggolnya.
Struktur
Candi Jago
Arsitektur Candi Jago disusun seperti teras punden
berundak. Keseluruhannya memiliki panjang 23,71 m, lebar 14 m, dan tinggi 9,97
m. Bangunan Candi Jago nampak sudah tidak utuh lagi; yang tertinggal pada Candi
Jago hanyalah bagian kaki dan sebagian kecil badan candi. Badan candi disangga
oleh tiga buah teras. Bagian depan teras menjorok dan badan candi terletak di
bagian teras ke tiga. Atap dan sebagian badan candi telah terbuka. Secara pasti
bentuk atap belum diketahui, namun ada dugaan bahwa bentuk atap Candi Jago
menyerupai Meru atau Pagoda.
Gambar : Relief pada dinding candi
Pada dinding luar kaki candi dipahatkan relief-relief
cerita Kresnayana, Parthayana, Arjunawiwaha, Kunjarakharna, Anglingdharma,
serta cerita fabel. Untuk mengikuti urutan cerita relief Candi Jago kita
berjalan mengelilingi candi searah putaran jarum jam (pradaksiana). Pada sudut
kiri candi (barat laut) terlukis awal cerita binatang seperti halnya cerita
Tantri. Cerita ini terdiri dari beberapa panel. Sedangkan pada dinding depan
candi terdapat fabel, yaitu kura-kura. Ada dua kura-kura yang diterbangkan oleh
seekor angsa dengan cara kura-kura tadi menggigit setangkai kayu. Di tengah
perjalanan kura-kura ditertawakan oleh segerombolan serigala. Mereka mendengar
dan kura-kura membalas dengan kata-kata (berucap), sehingga terbukalah
mulutnya. Ia terjatuh karena terlepas dari gigitan kayunya. Kura-kura menjadi
makanan serigala. Maknanya kurang lebih memberikan nasihat, janganlah mundur
dalam usaha atau pekerjaan hanya karena hinaan orang.
Gambar : Deretan Relief yang sangat indah pada dinding
candi
Pada sudut timur laut terdapat rangkaian cerita Buddha
yang meriwayatkan Yaksa Kunjarakarna. Ia pergi kepada dewa tertinggi, yaitu
Sang Wairocana untuk mempelajari ajaran Buddha. Beberapa hiasan dan relief pada
kaki candi berupa cerita Kunjarakarna. Cerita ini bersifat dedaktif dalam
kepercayaan Buddha, antara lain dikisahkan tentang raksasa Kunjarakarna ingin
menjelma menjadi manusia. Ia menghadap Wairocana dan menyampaikan maksudnya.
Setelah diberi nasihat dan patuh pada ajaran Buddha, akhirnya keinginan raksasa
terkabul. Pada teras ketiga terdapat cerita Arjunawiwaha yang meriwayatkan
perkawinan Arjuna dengan Dewi Suprabha sebagai hadiah dari Bhatara Guru setelah
Arjuna mengalahkan raksasa Niwatakawaca. Hiasan pada badan Candi Jago tidak
sebanyak pada kakinya. Yang terlihat pada badan adalah relief adegan
Kalayawana, yang ada hubungannya dengan cerita Kresnayana. Relief ini berkisah
tentang peperangan antara raja Kalayawana dengan Kresna. Sedangkan pada bagian
atap candi yang dikirakan dulu dibuat dari atap kayu/ijuk, sekarang sudah tidak
ada bekasnya.
Asal Usul
Sekarang “Pintu” ini menjadi puncak candi. Menurut kitab
Negarakertagama dan Pararaton, nama candi ini yang sebenarnya adalah Jajaghu.
Dalam pupuh 41 gatra ke-4 Negarakertagama dijelaskan bahwa Raja Wisnuwardhana yang
memerintah Singasari menganut agama Syiwa Buddha, yaitu suatu aliran keagamaan
yang merupakan perpaduan antara ajaran Hindu dan Buddha. Aliran tersebut
berkembang selama masa pemerintahan Kerajaan Singasari, sebuah kerajaan yang
letaknya sekitar 20 km dari Candi Jago. Jajaghu, yang artinya adalah
‘keagungan’, merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut tempat suci.
Masih menurut kitab Negarakertagama dan Pararaton,
pembangunan Candi Jago berlangsung sejak tahun 1268 M sampai dengan tahun 1280
M, sebagai penghormatan bagi Raja Singasari ke-4, yaitu Sri Jaya Wisnuwardhana.
Walaupun dibangun pada masa pemerintahan Kerajaan Singasari, disebut dalam
kedua kitab tersebut bahwa Candi Jago selama tahun 1359 M merupakan salah satu
tempat yang sering dikunjungi Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit.
Keterkaitan Candi Jago dengan Kerajaan Singasari terlihat juga dari pahatan padma
(teratai), yang menjulur ke atas dari bonggolnya, yang menghiasi tatakan
arca-arcanya. Motif teratai semacam itu sangat populer pada masa Kerajaan
Singasari. Yang perlu dicermati dalam sejarah candi adalah adanya
kebiasaan raja-raja zaman dahulu untuk memugar candi-candi yang didirikan oleh
raja-raja sebelumnya. Diduga Candi Jago juga telah mengalami pemugaran pada
tahun 1343 M atas perintah Raja Adityawarman dari Melayu yang masih memiliki
hubungan darah dengan Raja Hayam Wuruk.
Gambar : Tangga menuju ke atas candi | Yoni di depan
candi
Candi Jago dipenuhi dengan panel-panel relief yang
terpahat rapi mulai dari kaki sampai ke dinding ruangan teratas. Hampir tidak
terdapat bidang yang kosong, karena semua terisi dengan aneka ragam hiasan
dalam jalinan cerita-cerita yang mengandung unsur pelepasan kepergian. Hal ini
menguatkan dugaan bahwa pembangunan Candi Jago berkaitan erat dengan wafatnya
Sri Jaya Wisnuwardhana. Sesuai dengan agama yang dianut oleh Raja
Wisnuwardhana, yaitu Syiwa Buddha, maka relief pada Candi Jago mengandung
ajaran Hindu maupun Buddha.
Gambar : Patung Dwarapala yang sekarang diletakkan di
atas tanah
Ajaran Buddha tercermin dalam relief cerita Tantri
Kamandaka dan cerita Kunjarakarna yang terpahat pada teras paling bawah. Pada
dinding teras kedua terpahat lanjutan cerita Kunjarakarna dan petikan kisah
Mahabarata yang memuat ajaran agama Hindu, yaitu Parthayajna dan Arjuna
Wiwaha. Teras ketiga dipenuhi dengan relief lanjutan cerita Arjunawiwaha.
Dinding tubuh candi juga dipenuhi dengan pahatan relief cerita Hindu, yaitu
peperangan Krisna dengan Kalayawana.
Gmbar : Arca Amoghapasa
Di tengah pelataran depan, sekitar 6 m dari kaki candi,
terdapat batu besar yang dipahat menyerupai bentuk tatakan arca raksasa, dengan
diameter batu sekitar 1 m. Di puncaknya terdapat pahatan bunga padma yang
menjulur dari bonggolnya. Di sisi barat halaman candi terdapat arca Amoghapasa
berlengan delapan dilatarbelakangi singgasana berbentuk kepala raksasa yang
saling membelakangi. Kepala arca tersebut telah hilang dan lengan-lengannya
telah patah. Sekitar 3 m di selatan arca ini terdapat arca kepala rasaksa
setinggi sekitar 1 m. Tidak didapat informasi apakah benda-benda yang terdapat
di pelataran candi tersebut memang aslinya berada di tempatnya masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar